Perusahaan
industri jasa keuangan di Indonesia, termasuk perusahaan asuransi, saat ini
mulai banyak yang melakukan terobosan pemasaran dengan menciptakan produk
hibrida atau produk campuran, misalnya produk perbankan (deposito) digabung
dengan produk asuransi jiwa. Produk hibrida ini diharapkan dapat mendatangkan
manfaat ganda bagi nasabah yaitu mendapatkan bunga deposito sekaligus proteksi
asuransi jiwa.
Perbankan di
Indonesia memang belum ada yang menjadi universal banking di mana
produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga
keuangan lain. Bank di Indonesia mayoritas masih berupa bank komersial
(commercial banking) dan jika pun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih
sedikit dibandingkan dana di sektor perbankan. Sementara universal banking,
yang banyak terdapat di Eropa dan juga di Jepang, membolehkan bank melakukan
kegiatan usaha keuangan non-bank seperti investment banking dan asuransi.
(Wulan Tunjung Palupi, 2009).
Di samping
munculnya fenomena produk hibrida di sektor jasa keuangan, saat ini juga banyak
dijumpai pola keterkaitan antar lembaga keuangan dalam bentuk kerjasama
pemasaran produk keuangan. Produk investasi reksadana dan obligasi, selain
ditawarkan di pasar modal, juga ditawarkan melalui perbankan. Dalam kasus semacam
ini, perbankan hanya berperan sebagai agen penjual yang tidak ikut menanggung
risiko kerugian. Pola kerjasama semacam ini tetap membutuhkan pengawasan agar
tidak terjadi penyelewengan seperti pada kasus Bank Century dan Antaboga
Sekuritas. Koordinasi pengawasan yang baik antara Bank Indonesia dengan
Bapepam-LK sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap produk jasa keuangan. Kecenderungan munculnya produk hibrida dan
semangat kerjasama di antara perusahaan jasa keuangan tampaknya akan semakin
meningkat di masa mendatang, sehingga hal tersebut memunculkan wacana tentang
perlunya membentuk lembaga pengawas sektor keuangan yang bersifat superbody,
independen, dan terintegrasi.
Kecenderungan
munculnya produk hibrida di sektor jasa keuangan di Indonesia sebenarnya lebih
banyak mengikuti tren yang ada di negara maju. Fenomena semacam ini dapat
berdampak positif atau negatif tergantung cara kita menyikapinya. Penerbitan
produk hibrida di sektor jasa keuangan, jika dikelola dengan baik dan benar,
dapat meningkatkan gairah dan partisipasi masyarakat secara signifikan untuk
membeli produk-produk jasa keuangan. Di lain pihak, jika tidak diiringi dengan
pengawasan yang memadai, akan dapat memunculkan dampak negatif seperti yang
terjadi dalam kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas, serta kasus gagal
bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwa Bakrie atau yang dikenal sebagai Kasus
Bakrie Life.
Kasus Bakrie
Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa yang
merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal
(umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena
produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito
per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi
unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life)
diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total
mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya
penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.
Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak
menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie,
sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis
global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar
Harapan, 17 September 2009).
KETIADAAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DANA NASABAH ASURANSI
Kasus Bakrie
Life lebih sulit diselesaikan karena hingga kini belum ada perlindungan hukum
terhadap dana nasabah asuransi. Nasabah asuransi sebagai pihak konsumen selama
ini hanya dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen (UU 8/ 1999). Namun
demikian, UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur mekanisme penjaminan dan
pengembalian dana nasabah jika terjadi kasus perusahaan asuransi bermasalah. Di
samping itu, UU Perlindungan Konsumen lebih banyak berfokus pada pengaturan dan
perlindungan hak-hak konsumen dan terlaksananya kewajiban produsen secara umum.
Padahal, yang lebih dibutuhkan oleh nasabah asuransi adalah kepastian
pengembalian dana mereka jika terjadi kasus kegagalan usaha yang menimpa
perusahaan asuransi.
Pengamat
ekonomi Yanuar Rizky, sebagaimana dikutip Harian Sinar Harapan (17 September
2009) mengatakan bahwa permasalahan konflik antara nasabah dengan Bakrie Life
tidak bisa dilepaskan dari pengawasan Bapepam-LK yang lemah dan tidak serius.
Bapepam-LK terkesan hanya cuci tangan sehingga melihat masalah ini hanya
sebatas permasalahan kontrak pengelolaan dana antara nasabah yang dirugikan
dengan Bakrie Life. Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, Isa Rachmatarwata,
sebagaimana dikutip Harian Bisnis Indonesia (17 September 2009) juga meminta
para nasabah yang dirugikan Bakrie Life untuk menyelesaikan persoalan tersebut
berdasarkan kontrak yang berlaku, sebab dalam setiap kontrak asuransi biasanya
disebutkan tentang bagaimana cara penyelesaian masalah jika terjadi sengketa.
Isa Rachmatarwata juga menegaskan agar para nasabah harus siap menempuh cara
penyelesaian sengketa sesuai dengan polis, sebab jika pihak regulator ikut
mengintervensi malah tidak sesuai dengan kontrak.
Direktur
eksekutif AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia), Stephen Juwono, sebagaimana
dikutip Harian Bisnis Indonesia (17 September 2009) mengatakan bahwa kasus
Bakrie Life merupakan masalah internal antara Bakrie Life dengan para
nasabahnya. Jika nasabah mengetahui adanya penyimpangan investasi, maka mereka
dapat membawa masalah tersebut ke jalur hukum. AAJI hanya berwenang memberi
sanksi kepada para agen pemasaran produk asuransi yang dianggap menyimpang
yaitu agen yang tidak terdaftar dan tidak punya lisensi.
Pernyataan
pejabat Bapepam-LK dan pengurus AAJI tersebut di atas, walaupun secara normatif
terasa logis, tetapi secara faktual cenderung merugikan pihak nasabah asuransi.
Proses penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase lebih sesuai diterapkan
bagi pihak tertanggung yang bermodal besar, sedangkan penyelesaian melalui
jalur Mediasi, misalnya melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia, juga tidak
dapat menjamin pengembalian dana nasabah secara utuh. Di samping itu cara
Arbitrase dan Mediasi lebih cocok diterapkan untuk kasus-kasus sengketa
keperdataan yang hanya melibatkan dua pihak atau sedikit pihak. Kasus Bakrie Life
yang melibatkan ratusan nasabah lebih sulit diselesaikan melalui jalur Mediasi
atau Abitrase karena kedudukan para nasabah cenderung lemah sehingga perlu
perlindungan hukum dari Negara.
Proses
penyelesaian sengketa melalui jalur hukum via Pengadilan Negeri juga sangat
memberatkan nasabah karena proses peradilan di Indonesia umumnya masih
cenderung lebih berpihak kepada pemilik modal besar, prosesnya berbelit-belit,
lama, tidak ada jaminan menang, dan kalau toh menang seringkali eksekusi
putusannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian kasus Bakrie Life
seharusnya lebih difokuskan pada upaya pengembalian dana milik nasabah,
sedangkan proses hukumnya menjadi domain tugas Bapepam-LK. Jika dalam proses
penyelidikan dan penyidikan Bapepam-LK menemukan indikasi tindak pidana, maka
Bapepam-LK harus segera meneruskan kasus tersebut ke Kepolisian. Jika yang
ditemukan hanyalah pelanggaran administratif, maka Bapepam-LK tidak perlu lapor
ke Kepolisian tetapi cukup memberi sanksi administratif sesuai ketentuan yang
berlaku. Sanksi administratif terberat tentu saja adalah penutupan perusahaan
melalui pencabutan ijin perusahaan.
Nasib
nasabah bank jauh lebih baik dibandingkan nasib nasabah asuransi karena di
perbankan sudah ada program penjaminan dana nasabah penyimpan melalui LPS
(Lembaga Penjaminan Simpanan) berdasarkan UU 24/ 2004. Bapepam-LK, menurut
berita Koran Jakarta (21 September 2009) saat ini juga sedang merancang
pembentukan lembaga penjaminan dana investor di pasar modal atau IPF (Investor
Protection Fund) yang ditargetkan sudah terbentuk pada kuartal ke-2 tahun 2010.
Dalam kajian pembentukan IPF disebutkan bahwa sumber pendanaan IPF berasal dari
kontribusi investor melalui biaya transaksi investor (levy), perusahaan efek,
self regulatory organization (SRO), dan Pemerintah. Pemerintah diharapkan ikut
memberikan kontribusi karena selama ini investor di pasar modal juga memberikan
kontribusi bagi pemasukan negara lewat pajak. Setiap transaksi saham di pasar
modal akan dikenakan pajak 0,1 persen dari total nilai transaksi.
Program
penjaminan harus diarahkan guna melindungi dana nasabah asuransi agar tingkat
kepercayaan masyarakat tetap tinggi. Lembaga penjaminan dana nasabah asuransi,
sebagaimana LPS, juga harus diberi peran sebagai lembaga penyelamat dan/atau
likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Dengan tambahan peran sebagai
penyelamat dan likuidator tersebut, maka lembaga penjaminan ini dapat lebih
mudah memberi kepastian pengembalian dana nasabah asuransi. Pendanaan lembaga
penjaminan ini dapat berasal dari sumbangan Pemerintah, serta premi yang
dikutip dari perusahaan asuransi dan nasabah asuransi. Mekanisme kerja lembaga
ini mirip dengan perusahaan re-asuransi. Bedanya, kalau perusahaan re-asuransi
berfungsi melindungi perusahaan asuransi, maka lembaga penjaminan berfungsi
melindungi nasabah asuransi.
Kasus Bakrie
Life mirip dengan praktek pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) di
perbankan. Bedanya, pelanggaran BMPK diatur jelas dalam UU Perbankan (UU 7/
1992 juncto UU 10/ 1998), sedangkan pelanggaran sejenis belum diatur dalam UU
2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Banyaknya bank yang melanggar BMPK menjadi
salah satu pemicu krisis ekonomi dan perbankan 1997/1998. Kasus Bakrie Life
jika tidak diselesaikan dengan baik kemungkinan besar akan berdampak negatif
terhadap citra industri asuransi di mata masyarakat. Masyarakat sebagai calon
nasabah asuransi akan khawatir membeli produk asuransi, khususnya asuransi
unit-link. Padahal, industri jasa asuransi sebagaimana industri jasa keuangan
lainnya, sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, karena industri jasa
ini hidup dari usaha penghimpunan dan penyaluran dana-dana milik masyarakat.
KELEMAHAN
DAN PENGAWASAN SERTA PENINDAKAN OLEH BAPEPAM -LK
Mencuatnya
kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian
Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan
manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi,
dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui
penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku
regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life.
Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK
terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life
dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai
polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan
melapor ke Kepolisian.
Kasus Bakrie
Life, dan juga kasus Antaboga Sekuritas, adalah contoh betapa lemahnya aspek
pengawasan dan penindakan yang seharusnya dilakukan Bapepam-LK. Sebagai
otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank, Bapepam-LK berfungsi
sebagai regulator dan pengawas yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan. Pemeriksaan atau penyelidikan oleh Bapepam diatur
dalam Pasal 100, sedangkan wewenang penyidikan diatur dalam Pasal 101 UU 8/
1995 tentang Pasar Modal. Pasal 101 Ayat (2) UU 8/ 1995 menyatakan Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun demikian,
aturan UU 8/ 1995 ini mengandung kelemahan karena tidak mencantumkan wewenang
Bapepam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap lembaga keuangan
non-bank selain pasar modal.
Keberadaan
Penyidik PNS disamping Penyidik Kepolisian telah diatur dalam UU 8/ 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1, dan Pasal 6 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa Penyidik dapat berasal dari pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan kegiatan “Penyidikan”, sesuai Pasal 1 angka 2 UU 8/ 1981, adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan
menemukan tersangkanya.
Pasal 7 Ayat
(2) UU 8/ 1981 menyatakan bahwa Penyidik PNS mempunyai wewenang sesuai dengan
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Kepolisian.
Berdasarkan ketentuan ini, maka Penyidik PNS yang telah menemukan bukti awal
adanya tindak pidana tertentu, harus segera melimpahkan kasus tersebut kepada
Penyidik Kepolisian. Penyidik Kepolisian selanjutnya memproses lebih lanjut
kasus tersebut dan kemudian melimpahkannya kepada Kejaksaan selaku Penuntut
Umum.
Berdasarkan
fakta yuridis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan kasus
Bakrie Life, Bapepam-LK terbukti belum bekerja secara maksimal karena tidak
melaksanakan penyidikan dengan benar. Jika tugas penyidikan tersebut dilakukan
dengan benar dan berhasil menemukan indikasi pelanggaran pidana, maka
Bapepam-LK seharusnya wajib meneruskan kasus tersebut ke Kepolisian dan
bukannya malah menyerahkan tugas tersebut kepada para nasabah Bakrie Life. Hal
serupa juga terjadi dalam kasus Bank Century dimana Bank Indonesia tidak berani
melakukan penindakan terhadap pemilik Bank Century yang terbukti melakukan
pelanggaran pidana berupa penerbitan L/C fiktif senilai Rp 1,8 triliun.
Ketidaktegasan Bank Indonesia membuat kasus Bank Century bertambah besar
sehingga biaya penyelamatan yang harus ditanggung LPS mencapai Rp 6,7 triliun.
Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank sering digunakan sebagai dalil
untuk menutupi ketakutan dan kelemahan tersebut.
Kelemahan
penindakan hukum sudah lama menjadi budaya hukum di Indonesia, sehingga bangsa
kita dikenal sebagai bangsa yang hanya pandai membuat undang-undang atau
peraturan tetapi lemah dalam implimentasi dan penegakan hukumnya. Penegakan
hukum di masa Reformasi hingga saat ini masih banyak diwarnai oleh budaya hukum
warisan Orde Baru yang bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme serta lebih cenderung
membela kepentingan elit penguasa dan pemilik modal besar. Prof. Satjipto
Rahardjo SH dalam Bernard L. Tanya et.al. (2006) bahkan menyatakan
penegakan hukum di masa transisi pasca Orde Baru tidak hanya dijalankan seperti
rutinitas belaka (business as usual) tetapi juga dipermainkan seperti barang
dagangan (business-like). Di masa kini, menurut Prof. Satjipto Rahardjo SH
(2007) penegakan hukum memerlukan kualitas progresif. Kita membutuhkan penegak
hukum yang berkualitas di atas rata-rata. Undang-undang hanya berbicara abstrak
dan datar, baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum bisa diuji
kemampuannya. Penggunaan diskresi yang bertanggung jawab juga diperlukan guna
mengatasi kebuntuan dalam penegakan hukum. Guna mengatasi hambatan penegakan
hukum di sektor keuangan, Pemerintah dan DPR perlu membentuk lembaga pengawas
independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat 31 Desember 2010
sebagaimana amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia (UU 23/ 1999 juncto UU 3/ 2004).
Pembentukan OJK akan mengambil alih fungsi pengawasan yang selama ini
dijalankan BI dan Bapepam-LK.
KELEMAHAN
ATURAN HUKUM DAN PENTINGNYA REFORMASI HUKUM ASURANSI
Kasus Bakrie
Life juga memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di bidang
asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU
Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti
perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.
Pada saat
pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah menyertakan RUU
Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa
finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos
menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 dan yang lainnya
sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi infrastruktur, Pemerintah telah
menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan
Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.(Rijanta Triwahjana, 2008).
Kelemahan
aturan dalam UU 2/ 1992 meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut :
a) UU 2/
1992 belum mencantumkan secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas
regulator dan pengawas perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan.
b) UU 2/
1992 belum mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida.
c) UU 2/
1992 belum mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi.
d) UU 2/
1992 belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya
penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi.
Kelemahan
pertama dapat diatasi dengan membuat UU tentang Bapepam-LK sehingga kedudukan
Bapepam-LK lebih independen (tidak lagi di bawah Menteri Keuangan) sehingga
kedudukannya setara dengan Bank Indonesia. DiAmerika Serikat, lembaga pengawas
pasar modal dan pengawas perusahaan asuransi berdiri sendiri-sendiri dan
berstatus independen karena tidak bertanggung-jawab kepada Menteri Keuangan.
Kelemahan pertama ini juga dapat diatasi melalui pembentukan lembaga superbody
seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang independen dan bertugas mengawasi
seluruh perusahaan di sektor jasa keuangan.. Pola pengawasan model OJK mirip
dengan pola pengawasan yang diterapkan di Inggris.
Menurut
Wulan Tunjung Palupi (2009) terdapat dua aliran pemikiran dalam bidang
pengawasan sektor keuangan. Yang pertama menganut prinsip bahwa supervisi
berbagai institusi keuangan dilakukan oleh beberapan lembaga yang terpisah.
Yang kedua berprinsip seluruh pengawasan sektor keuangan harus ada dalam satu
badan besar. Di Inggris, industri keuangan diawasai oleh Financial Supervisory
Authority (FSA). Sedangkan di Amerika Serikat, industri keuangan diawasi
beberapa institusi terpisah yaitu : Securities and Exchange Commission (SEC),
The Fed (Bank Sentral), Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), dan
Options Clearing Corporation (OCC).
Kelemahan
kedua dapat diatasi dengan merevisi UU 2/ 1992 dengan memasukkan aturan
pemasaran produk asuransi hibrida serta ketentuan kerjasama pemasaran produk
jasa keuangan. Ketentuan semacam ini diperlukan guna menjamin adanya kepastian
dan perlindungan hukum, sehingga kegiatan tersebut tidak sampai merugikan
nasabah asuransi seperti pada kasus Bakrie Life. Penempatan portofolio
investasi dalam asuransi unit-link juga harus diatur dan dibatasi seperti
halnya ketentuan BMPK di perbankan.
Kelemahan
ketiga dan keempat dapat diatasi dengan membuat aturan pembentukan lembaga
penjaminan dana nasabah asuransi, yaitu lembaga yang cara kerjanya mirip LPS.
Pembentukan lembaga ini dapat diatur dalam bentuk UU tersendiri, atau dalam
bentuk amandemen UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti LPS, lembaga
ini sebaiknya juga diberi peran sebagai penyelamat maupun likuidator perusahaan
asuransi bermasalah. Jika Pemerintah dan DPR lebih memilih opsi pembentukan
OJK, maka peran lembaga ini cukup sebatas melakukan usaha penjaminan dana
nasabah asuransi.
Mengingat
begitu kompleksnya reformasi hukum di bidang keuangan, maka Pemerintah dan DPR
sudah seharusnya segera merevisi paket RUU bidang keuangan yang sudah tertunda
sejak tahun 2003. Munculnya kasus Bakrie Life, kasus Antaboga Sekuritas, dan
kasus sejenis lainnya, semestinya mulai menyadarkan Pemerintah dan DPR agar
tidak hanya mereformasi perbankan dan bank sentral tetapi juga mereformasi
lembaga keuangan non-bank khususnya pasar modal, asuransi, dan dana pensiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar